Negara Arab Bingung, Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Bencana Sumatra, Padahal Krisis Masih Tejadi

GELORA.CO - Penolakan Pemerintah Indonesia terhadap bantuan asing untuk menangani bencana banjir dan longsor besar di Sumatra memicu sorotan internasional. Sejumlah negara Timur Tengah, termasuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, hingga Arab Saudi disebut heran setelah tawaran bantuan kemanusiaan mereka tidak diterima oleh pemerintah Indonesia. Padahal bencana yang terjadi berdampak luas dan menimbulkan kerusakan besar. Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 itu menimbulkan kerusakan masif ribuan korban terdampak, ratusan ribu warga mengungsi. Serta infrastruktur hancur di banyak titik. Sejumlah negara Arab yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia merespons cepat dengan menyatakan kesiapan mengirim bantuan pangan, logistik, hingga tenaga medis. Namun, pemerintah Indonesia menegaskan belum membuka pintu untuk bantuan luar negeri. Sikap tersebut menjadi polemik setelah muncul laporan bahwa 30 ton beras bantuan dari Pemerintah UEA yang ditujukan bagi korban banjir di Medan harus dikembalikan. Karena pemerintah pusat belum memberikan izin penerimaan bantuan luar negeri. Pemerintah kota mengikuti arahan nasional, sehingga paket bantuan yang sudah tiba di Indonesia dikirim kembali. Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya dari negara-negara Arab karena bantuan yang mereka siapkan bersifat kemanusiaan dan tidak disertai syarat politik. Dalam konteks diplomasi, solidaritas antarnegeri Muslim biasanya diterima dengan tangan terbuka. Terlebih ketika Indonesia kerap menjadi negara yang vokal dalam isu-isu regional Timur Tengah. Di sisi lain, pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa keputusan menolak bantuan asing diambil karena kapasitas nasional dinilai cukup untuk menangani bencana. Pemerintah menegaskan bahwa pengerahan sumber daya TNI, BNPB, kementerian terkait, hingga bantuan dari pemerintah daerah telah berjalan masif. Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia “mampu menangani sendiri” situasi darurat tersebut. Alasan lain yang menjadi pertimbangan adalah belum adanya penetapan status “bencana nasional”. Selama status tersebut tidak diberlakukan, prosedur penerimaan bantuan asing tetap berada dalam pengawasan ketat pemerintah pusat. Mekanisme ini membuat bantuan luar negeri tidak bisa masuk sembarangan tanpa persetujuan resmi. Namun, kebijakan tersebut tidak lepas dari kritik. Sejumlah pengamat kebencanaan menilai bahwa dalam situasi bencana berskala besar, kerja sama internasional justru penting untuk mempercepat pemulihan. Dengan kerugian ekonomi mencapai puluhan triliun dan beban logistik yang besar. Sebagian pihak menilai bahwa menutup pintu bantuan internasional sama saja memperlambat penanganan. Dari sisi dunia Arab, kebingungan muncul karena Indonesia selama ini dikenal sebagai negara dengan hubungan historis, budaya, dan keagamaan yang kuat dengan kawasan tersebut. Tawaran bantuan yang ditolak tanpa penjelasan rinci dinilai bisa menimbulkan jarak diplomatik, meski hubungan bilateral tetap berjalan normal. Meski begitu, beberapa negara tetap mengirim bentuk dukungan lain yang tidak masuk kategori bantuan langsung pemerintah ke pemerintah. Malaysia, misalnya, mengirim obat-obatan dan tim medis ke Aceh melalui jalur kerja sama kemanusiaan regional. Situasi ini memunculkan diskusi lebih luas mengenai kemandirian nasional versus solidaritas global. Apakah Indonesia sedang ingin menunjukkan kemampuan mandiri menangani bencana besar? Atau apakah pemerintah ingin menghindari isu keterlibatan pihak asing di wilayah terdampak yang sensitif secara politik? Hingga kini, pemerintah Indonesia belum memberikan sinyal untuk mengubah kebijakan tersebut. Negara-negara Arab yang ingin membantu masih menunggu kepastian, sementara pemulihan di wilayah Sumatra terus berjalan dengan mengandalkan kapasitas nasional.***