GELORA.CO - Wahana Lingkungan (Walhi) meramal masa depan Papua apabila pemerintah pusat tetap ngotot membuka lahan sawit di wilayah tersebut. Walhi menilai, ke depannya, tidak menutup kemungkinan bencana banjir besar Sumatra akan terjadi di Papua apabila deforestasi dilakukan pemerintah di bumi cenderawasih tersebut. Hal ini diungkapkan Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI Uli Arta Siagian usai mendengar wacana Presiden RI Prabowo Subianto yang mau memperluas perkebunan sawit Indonesia hingga Papua. Diketahui Presiden Prabowo Subianto ingin Papua ditanami sawit agar menghasilkan bahan bakar minyak (BBM). Hal itu dia sampaikan dalam rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa (16/12/2025). Selain itu, Prabowo ingin Papua juga ditanami tebu hingga singkong agar bisa memproduksi bioetanol. Dalam pernyataannya, Prabowo menargetkan semua daerah bisa swasembada pangan dan swasembada energi dalam lima tahun ke depan. Walhi menolak keras ide Prabowo tersebut lantaran bisa mengundang bencana ekologis di Papua. Uli mengatakan keinginan untuk membuka sawit dan kebun tebu skala besar di Papua hanya akan memperparah krisis ekologis. Terlebih selama ini rakyat Papua juga telah mengalami perampasan wilayah adat akibat izin-izin yang diterbitkan pengurus negara. Bahkan, pembukaan lahan 2 juta hektar untuk pangan dan energi yang sekarang berjalan dampaknya telah dirasakan oleh rakyat di Merauke. Mereka merasakan perampasan wilayah adat, hilangnya sumber pangan lokal, banjir, kekerasan bahkan kriminalisasi. Bahkan kini, setiap tahun banjir selalu terjadi di Merauke, Papua. Maka kata Uli, bisa bayangkan kedepan banjir ini akan semakin sering terjadi dan meluas. Bahkan, Uli meramalkan, rakyat Papua bisa senasib dengan warga Sumatra yakni mengalami bencana banjir besar apabila hutan hujan diubah menjadi sawit. “Pembukaan hutan untuk sawit dalam skala besar di Sumatera diulang Kembali di Papua. Papua dimasa depan akan mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh rakyat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat saat ini,” jelasnya. WALHI Papua mencatat bahwa Papua telah kehilangan tutupan hutan primer ± 688 ribu hectare hingga saat ini. Bahkan mengejutkannya lagi, deforestasi 2022-2023 seluas 552 ribu hektar hutan alam Papua terdeforestasi. Tanpa membuka lahan sawit saja, saat ini Papua menyumbang 70 persen dari total deforestasi nasional. “Jika rencana ekspansi sawit, tebu dan lainnya atas nama swasembada pangan dan energi tetap dijalankan, sama artinya pengurus negara akan mengulang bencana ekologis Sumatera di Papua,” terangnya. Bukan hanya bencana bagi Papua, deforestasi wilayah tersebut juga akan menjadi bencana untuk dunia. Di mana dunia akan mengalami krisis iklim seperti bencana-bencana badai yang mulai terjadi di wilayah khatulistiwa. Maka jangan heran, Indonesia ke depannya akan terus dibayang-bayangi bencana badai dan banjir apabila hutan di Papua ikut dirusak. “Lebih jauh lagi, emisi yang akan dilepaskan dari perubahan hutan menjadi konsesi sawit, tebu dan aktivitas ekstraktif lainnya akan semakin memperparah krisis iklim. Anomali iklim, cuaca ekstrem adalah bahaya yang akan dihadapi oleh jutaan rakyat Indonesia,” tambahnya. Menurut Uli, rencana membuka hutan untuk menanam tanaman yang menghasilkan bio energi bukanlah solusi baru, tetapi bagian dari pendekatan pembangunan berbasis ekspansi lahan yang telah dikritik selama ini. Pembukaan hutan untuk sawit, tambang, dan proyek ekstraktif lainnya merupakan salah satu penyebab struktural terjadinya krisis lingkungan, termasuk mengurangi kemampuan lanskap untuk menyerap curah hujan ekstrim, memperparah banjir, dan merusak sumber penghidupan masyarakat adat serta masyarakat lokal. Oleh karena itu WALHI mengingatkan bahwa kedaulatan energetika harus menjadi prioritas negara, tidak cukup hanya swasembada pangan dan energi. “Energetika harus diletakkan dalam kerangka hak, sebab akses terhadap energi yang mendasari keberlanjutan dan martabat hidup manusia,” “Energi memungkinkan produksi pangan, tempat tinggal layak di berbagai iklim, layanan esensisal seperti Kesehatan dan Pendidikan serta konektivitas. Sistem energi harus diletakkan pada pemenuhan kebutuhan hak dasar warga negara bukan pada akumulasi kapital,” tutup Uli. Uli menjelaskan, energi seringkali hanya dipandang sebagai upaya penyediaan daya dari pemanfaatan sumber-sumber fisik atau kimia (utamanya bahan bakar fosil) untuk menghasilkan listrik dan atau untuk menggerakkan mesin. Pandangan ini menjauhkan keseluruhan urusan energetika bagi regenerasi sosial-ekologis, dan berakhir hanya pada urusan kecukupan sumber tenaga untuk kesinambungan industrialisasi. Sumber: wartakota