GELORA.CO - Dua puluh lima tahun berlalu, tetapi momen pemilihan Presiden 1999 tetap menjadi salah satu titik paling menentukan dalam sejarah politik Indonesia. Dari sidang MPR yang sengit, lahirlah Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Namun di balik keputusan besar itu. Ada satu peran penting yang selama ini jarang disorot: pengorbanan politik Yusril Ihza Mahendra. Dalam sebuah percakapan panjang bersama Mahfud MD dalam podcast, Yusril akhirnya membuka kisah yang selama ini tidak banyak diketahui publik. Ia mengaku menjadi salah satu tokoh yang mengambil keputusan genting menjelang voting di Sidang Umum MPR. Bukan keputusan kecil melainkan keputusan untuk mundur dari pencalonan. “Saya sudah ikhlas mundur ngasih kesempatan sama Gus Dur jadi presiden terpilih,” ujar Yusril mengenang momen itu. Jalan Terjal Menuju Kursi Presiden 1999 Pada saat itu, Yusril termasuk dalam daftar tiga nama calon presiden yang akan dibawa ke sidang MPR Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, dan dirinya sendiri. Kehadirannya di daftar calon tidak hanya simbolis. Ia memiliki basis kuat di blok politik Islam, terutama dari jalur Masjumi dan jaringan intelektual muda. Namun, berdasarkan perhitungan politik, suara dari kelompok Islam cenderung terpecah apabila Yusril tetap maju. Pecahnya suara ini bisa membuat peluang Gus Dur melemah di hadapan Megawati yang lebih kuat secara elektoral. Situasi itulah yang membuat para kiai memberi tekanan moral tetapi dalam koridor silaturahmi agar Yusril mempertimbangkan kembali pencalonannya. Pertemuan yang Menentukan Yusril bercerita bahwa setelah pemungutan suara berlangsung, ia bertemu dengan sejumlah tokoh penting. Salah satunya adalah Kiai Abdullah Faqih dari Langitan, ulama kharismatik yang sangat dihormati di kalangan NU. Mereka menyalami dan mengucapkan terima kasih. “Saya mewakili para kiai… sampean sudah ikhlas mundur, memberi kesempatan Gus Dur jadi presiden,” kata para kiai yang ia temui kala itu. Di momen itulah Yusril menyampaikan pesannya yang paling menyentuh: “Saya ini anak Masjumi… Jadi tolonglah antara anak Masjumi dan anak NU ini jangan ada beban psikologis lagi.” Ucapan itu bukan basa-basi politik. Masjumi dan NU memiliki sejarah panjang ketegangan pada era 1950-an. Keputusan Yusril mundur, dan penerimaan para kiai, menjadi simbol rekonsiliasi dua arus besar Islam Indonesia. Lebih dari Sekadar Politik: Sebuah Pengorbanan Dalam percakapan itu, Mahfud MD menegaskan bahwa Yusril memang memiliki karakter politik yang tegas namun selalu rasional. Ia bukan tipe politisi yang memaksakan kepentingan pribadi. Justru pada titik kritis itu, ia menunjukkan dirinya sebagai negawaran, bukan sekadar kontestan pemilihan. Keputusannya mundur pada saat menjelang pemilihan presiden bukan hanya strategi, tetapi juga kesadaran sejarah. Tanpa langkah itu, peluang Gus Dur untuk terpilih bisa jauh lebih kecil. Dan sejarah mencatat, pada 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi dilantik sebagai Presiden RI ke-4. Pengakuan Yusril ini menjadi salah satu pernyataan paling penting mengenai pemilihan presiden pertama di era reformasi. Bukan hanya membuka tabir sejarah, tetapi juga menunjukkan bahwa politik Indonesia pernah memiliki momen ketika ego pribadi dikalahkan demi persatuan. Pemilihan Presiden 1999 bukan hanya kemenangan Gus Dur, tetapi juga buah dari pengorbanan seorang Yusril Ihza Mahendra. Yang memilih mundur agar bangsa mendapatkan pemimpin terbaik pada saat itu.***