GELORA.CO - Polemik penanganan banjir besar di Sumatera yang menimbulkan ribuan korban dan kerusakan masif dalam beberapa pekan terakhir akhirnya membuat Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), angkat bicara. Di tengah ramainya perdebatan publik yang membandingkan cara dirinya menangani bencana dengan pemerintahan Prabowo Subianto saat ini. SBY memberikan pernyataan tegas jangan lakukan perbandingan yang tidak relevan dan tidak produktif. SBY menyampaikan pesan itu dalam unggahan video dan komunikasi pribadinya kepada sejumlah tokoh daerah. Ia menekankan bahwa penanganan bencana skala besar seperti banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bukan sesuatu yang sederhana, dan tidak bisa dijadikan ajang membandingkan efektivitas dua rezim pemerintahan. Menurut SBY, setiap bencana memiliki karakter, kompleksitas, dan tantangan unik yang berbeda antara satu kejadian dengan kejadian lainnya. “Penanggulangan bencana tidak semudah yang dibayangkan. Jangan bandingkan masa saya dulu dengan sekarang. Fokus kita adalah bagaimana menyelamatkan rakyat,” ujar SBY dikutip pojoksatu.id dari sindonews Komentar SBY muncul setelah perdebatan publik semakin panas. Di media sosial, sebagian masyarakat menyebut penanganan banjir Sumatera kali ini lebih lambat dibanding saat SBY menangani bencana besar di era pemerintahannya. Termasuk tsunami Aceh 2004 dan banjir besar di berbagai provinsi. Sebagian lainnya menilai situasi sekarang jauh lebih kompleks karena tingginya curah hujan ekstrem, kerusakan hulu sungai, serta akses logistik yang sangat sulit. Dalam konteks itu, pernyataan SBY menjadi sorotan. Apalagi, beberapa tokoh nasional seperti Dino Patti Djalal juga sempat menyarankan agar pemerintah saat ini belajar dari pengalaman SBY dalam mengelola bencana besar masa lalu. Namun SBY justru memilih meredam tensi perdebatan dengan meminta publik berhenti membuat perbandingan yang justru mengalihkan fokus dari upaya penyelamatan warga terdampak. Di sisi lain, bencana di Sumatera memang tengah memasuki fase kritis. Data berbagai lembaga resmi menunjukkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal, ratusan ribu rumah rusak, serta banyak wilayah terisolasi karena akses putus diterjang banjir dan longsor. Pemerintah pusat telah mengerahkan tim SAR gabungan, bantuan logistik, hingga alat berat untuk membuka jalur yang tertutup material tanah. Meski begitu, kritik tetap mengalir. Sejumlah pengamat menilai pemerintah kurang cepat merespons situasi di 72 jam pertama pascabencana. Ada pula keluhan soal distribusi bantuan yang dinilai belum merata. Situasi ini semakin memicu publik membandingkan penanganan bencana lintas pemerintahan. Namun, pesan SBY menyoroti hal yang berbeda bahwa penanganan bencana adalah kerja kemanusiaan, bukan arena kompetisi politik. Ia mengajak semua pihak menahan diri dari narasi pembanding yang hanya memperkeruh suasana. "Bencana ini besar. Pemerintah pasti bekerja keras. Sudah saatnya semua pihak bergotong royong," demikian salah satu kutipannya. Pernyataan itu mendapat respons beragam. Sebagian publik memuji sikap SBY yang dinilai menenangkan dan berjiwa kenegarawanan. Sebagian lainnya justru menilai SBY menghindari perbandingan karena kritik terhadap pemerintah lama maupun baru sama-sama tidak produktif. Meski demikian, pernyataan SBY jelas memperlihatkan satu hal bahwa isu penanganan bencana tidak hanya menyangkut teknis lapangan, tetapi juga persepsi publik dan dinamika politik nasional. Di tengah bencana yang menciptakan luka mendalam bagi warga Sumatera. Ajakan SBY agar masyarakat berhenti membandingkan dan kembali fokus pada penyelamatan warga menjadi salah satu suara yang paling mencuri perhatian.***