Barzakh itu Indah

OLEH: AHMADIE THAHA DI sebuah ruang rumah sakit yang lampunya tak pernah benar-benar padam, sebab di sanalah malam dan siang bercampur seperti kopi sachet yang diaduk terburu-buru, Ustaz Muhammad Jazir ASP terbaring di atas ranjang putih. Tubuhnya ringkih, ginjalnya terengah-engah akibat diabetes yang panjang ceritanya. Selang oksigen menyembul dari hidung, dan mata yang sayu itu justru memancarkan ketenangan yang tak lazim. Di sekelilingnya, keluarga dan sahabat berdiri setengah menahan harap, setengah menahan air mata. Seolah-olah mereka sedang menunggu sesuatu yang tak tertulis di papan jadwal perawatan dokter. Dan benar saja, yang keluar dari bibirnya bukan rintihan, melainkan pelajaran terakhir, disampaikan dengan suara jelas, direkam kamera, mikrofon kecil dijepitkan rapi di bawah mulut, seperti dosen yang tak mau mahasiswanya kehilangan satu kalimat pun. Tangan dan jemarinya sesekali bergerak, seolah ia sedang berceramah di depan jamaah seperti biasa dilakukannya. Ustaz Jazir selama ini dikenal bukan sekadar dai yang fasih di mimbar, melainkan arsitek sunyi yang mengubah wajah masjid dari bangunan ibadah menjadi simpul peradaban. Di tangannya, Masjid Jogokariyan menjelma seperti dapur umum spiritual: lampunya terang, pintunya terbuka, dan denyut hidupnya terasa sampai ke lorong-lorong kampung. Ia mengajarkan bahwa masjid tidak boleh miskin ketika jamaahnya miskin, tidak boleh dingin ketika umatnya kepanasan oleh hidup. Saldo infak harus beredar, bukan mengendap; jamaah harus disambut, bukan diseleksi; bahkan orang lapar, letih, atau sekadar numpang istirahat tetap dianggap tamu Allah, bukan pengganggu kesucian. Tak heran Indonesia mengenangnya sebagai guru andal manajemen masjid, sebab yang ia kelola bukan hanya kas dan jadwal pengajian, melainkan kepercayaan umat, sesuatu yang jauh lebih sulit ditata daripada angka di buku keuangan. Dalam kepemimpinannya, masjid bukan lagi monumen diam, melainkan organisme hidup yang bernapas bersama warga, lintas ormas, lintas mazhab, bahkan lintas iman, seolah ingin berkata: beginilah seharusnya rumah Tuhan bekerja di tengah dunia yang letih. Ia sendiri tak pernah letih berdakwah, bahkan di momen paling tidak biasa, di ranjang sakit. Nasihat pertama yang minta direkam hari itu datang seperti tamparan lembut bagi imajinasi kolektif kita tentang kematian. “Perjalanan ke alam barzakh itu indah,” katanya. Bukan horor. Bukan adegan menegangkan ala film murahan. Bahkan, alam barzakh itu sama sekali jauh dari cerita di bait terkenal grup Nasida Ria: “bila Israil datang memanggil, tubuh menggigil…” Ustaz Jazir menggeleng pelan, matanya berbinar, seakan ingin berkata: itu lagu, bukan laporan perjalanan. Baginya, alam barzakh bukan lorong gelap penuh jerit, melainkan perpindahan alamat, dari rumah dunia yang bising ke hunian sunyi yang lapang. Ia menegaskan,  “Ora loro, ora ngelarani, ora kelaran.” Tidak sakit, tidak menyiksa, tidak menyengsarakan. Sebuah pernyataan yang membuat ruang ICU seolah berubah jadi ruang kuliah filsafat hidup. Pandangan ini bukan hal baru dalam khazanah Islam. Ibnu Qayyim al-Jawziyah, ulama besar murid Ibnu Taymiyyah, dalam Kitab ar-Ruh menulis panjang lebar tentang ruh orang beriman yang justru merasakan kelapangan dan kebahagiaan setelah berpisah dari jasad. Kematian, dalam pandangannya, bukan pemutusan hidup, melainkan pemindahan fase. Jika dunia ini ruang ujian, maka barzakh adalah ruang tunggu yang, bagi orang tertentu, dipenuhi nikmat ruhani. Jadi, yang dibayangkan oleh kita sebagai penderitaan fisik sering kali tidak paralel dengan kondisi jiwa. Tubuh boleh terbaring lemah, tapi ruh bisa berdiri tegak, bahkan berlari. Nasihat kedua Ustaz Jazir hari itu justru lebih membumi, sekaligus menampar kebiasaan sosial kita yang sering sok khusyuk tapi keliru alamat. Ia berbicara tentang adab menjenguk orang sakit. Jangan datang dengan wajah duka seolah-olah sedang latihan pemakaman. Jangan membatasi dengan aturan kaku yang membuat si sakit merasa seperti narapidana medis. Jangan pula berbisik-bisik dengan nada “sudah siap belum” yang justru mempercepat kelelahan jiwa. Menurut dia, orang sakit itu butuh suasana gembira, guyon-guyon, obrolan ringan yang membuatnya merasa masih hidup, bukan sekadar menunggu mati. Datang menjenguk bukan untuk menambah berat beban batin, melainkan menghibur. Doa itu penting, tentu saja. Tapi doa yang disertai senyum dan tawa kecil jauh lebih manusiawi ketimbang doa yang dibacakan dengan wajah seperti hakim vonis akhir. Ustaz Jazir bahkan menolak pembatasan waktu kunjungan yang berlebihan. “Pasien itu ingin senang dan nikmat,” katanya. Yang sering keliru justru para penunggunya, datang dengan kesedihan yang dipaksakan, lalu pulang dengan perasaan telah menjalankan ritual. Padahal, menjenguk orang sakit bukan takziah pra-mati. Ia silaturahim kehidupan. Maka, Ustadz Jazir membuka pintu, membuka waktu, bahkan bercanda soal piket malam, seolah-olah ia bukan pasien, melainkan tuan rumah yang sedang menerima tamu. Di titik ini, kita paham mengapa pesan itu dipaksakannya untuk direkam. Ia bukan sekadar wasiat keluarga, melainkan panduan etika sosial yang sering kita salah kaprahkan. Wasiat kunjungan semacam itu lahir dari hati yang dalam, dan disampaikan dalam momen pengalamannya sendiri. Maka, ketika kelak kabar wafatnya Ustaz Jazir datang yaitu Senin dini hari, 22 Desember 2025, pesan tersebut terasa seperti lampu kecil yang tetap menyala. Ustaz ini memang pergi, tapi ia meninggalkan cara memandang kematian dan etika kunjungan yang lebih dewasa: tanpa histeria, tanpa dramatisasi berlebihan, tanpa romantisasi penderitaan. Ironisnya, kita sering menganggap kematian sebagai tragedi absolut, padahal ia adalah kelanjutan logis dari hidup yang ditunaikan dengan tenang. Kita melihat tubuh yang lemah dan berkata, “Kasihan.” Kita lupa bertanya: bagaimana keadaan ruhnya? Kita mungkin sibuk mengukur denyut nadi, tapi lupa mendengar denyut makna. Barangkali, di situlah pelajaran terakhir Ustaz Jazir paling tajam: bahwa yang berpindah bukanlah kehidupan menuju ketiadaan, melainkan manusia menuju bentuk lain dari keberadaan. Dan ketika kita akhirnya berdiri di tepi ranjang orang sakit, atau bahkan di tepi hidup kita sendiri, semoga kita ingat satu hal: jangan tergesa menyedihkan apa yang mungkin sedang berbahagia. Jangan cepat-cepat menangisi apa yang justru sedang menuju kelapangan. Sebab, bisa jadi, yang kita sebut akhir hanyalah awal yang terlalu tenang untuk diributkan