Kasus IUP Nikel Konawe Utara Disetop, KPK-BPK Dituding Masuk Angin dan Amnesia

GELORA.CO -Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai amnesia karena menyatakan tidak bisa melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap “masuk angin” lantaran menghentikan penyidikan dugaan korupsi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman. Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto, menegaskan KPK sebagai lembaga ad hoc tidak boleh melupakan kasus-kasus korupsi tambang yang pernah ditangani, termasuk perkara yang melibatkan mantan Gubernur Sultra, Nur Alam. “KPK bisa melakukan audit forensik atau membuka kembali kasus tersebut. Apakah terjadi korelasi antara korupsi yang telah menjerat Gubernur Sultra Nur Alam dengan kasus Bupati Konawe Utara,” kata Hari kepada RMOL, Selasa, 30 Desember 2025. Menurut Hari, KPK tidak semestinya menelan mentah-mentah pernyataan BPK yang menyebut tidak bisa menghitung kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut. Menurut Hari, KPK tidak semestinya menelan mentah-mentah pernyataan BPK yang menyebut tidak bisa menghitung kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut. “BPK sendiri, menurut saya, juga tidak boleh amnesia terhadap kasus yang pernah menjerat Gubernur Sultra Nur Alam. Kalau memang tidak ada kerugian negara, mengapa Nur Alam bisa ditangkap, diadili, dan sudah dieksekusi,” ujar Hari. Hari menilai, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh KPK akan menjadi preseden buruk. Terlebih, praktik di sektor pertambangan hampir mustahil bersih dari penyimpangan. “Kita sama-sama tahu dan ini sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai korupsi di sektor tambang sangat besar. Hampir tidak pernah ada perusahaan tambang yang mau diaudit secara terbuka,” tuturnya. Ia menambahkan, potensi pendapatan dari sektor tambang di Indonesia sangat besar. Bahkan, kata Hari, ada tokoh yang pernah menyebut jika dikelola dengan baik, sektor tambang mampu memberikan penghasilan hingga Rp20 juta per orang. “Artinya, KPK harus membangun pembanding. Tidak serta-merta hanya mendasarkan diri pada masukan BPK. KPK harus berupaya semaksimal mungkin membuat perbandingan terhadap kasus Konawe Utara. Dengan membuka kembali berkas lama, khususnya kasus Nur Alam yang sudah dieksekusi, bukan tidak mungkin ditemukan adanya korelasi,” pungkas Hari. Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa auditor menyatakan tidak dapat melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut. “Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perkara ini dinilai tidak masuk dalam ranah keuangan negara,” kata Budi kepada wartawan, Senin malam, 29 Desember 2025. Budi menjelaskan, hasil tambang yang diperoleh dengan cara yang diduga menyimpang juga tidak dapat dihitung sebagai kerugian keuangan negara oleh auditor. “Hal ini mengakibatkan tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam penyidikan, khususnya untuk memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelasnya. Selain itu, kata Budi, unsur pasal suap juga terkendala karena perkara telah daluwarsa. “KPK memastikan penerbitan SP3 murni pertimbangan teknis penyidikan, yakni karena penghitungan kerugian keuangan negara tidak dapat dilakukan auditor. Tidak ada intervensi dari pihak mana pun,” tegas Budi. Diketahui, pada Kamis, 14 September 2023, Aswad Sulaiman sempat hendak ditahan KPK. Namun, ia mendadak sakit dan dilarikan ke RS Mayapada. Aswad Sulaiman diduga melakukan praktik korupsi saat menjabat sebagai Bupati Konawe Utara periode 2007–2009 dan 2011–2016. Ia diduga menerbitkan izin pertambangan yang bertentangan dengan aturan hukum. Dalam perkara ini, Aswad diduga merugikan keuangan negara hingga Rp2,7 triliun serta menerima suap sebesar Rp13 miliar. Sumber: RMOL