DPP FPI API Duga Kuat Mulyono & Geng Dalangi Demo Anarkis: Berlanjut Makzulkan Prabowo lalu Naikkan Gibran

DPP FPI API Duga Kuat Mulyono & Geng Dalangi Demo Anarkis: Berlanjut Makzulkan Prabowo lalu Naikkan Gibran

GELORA.CO - Di tengah memanasnya situasi politik nasional pasca-pemilu, Front Persaudaraan Islam (FPI) melalui Dewan Pimpinan Pusat Advokat Persaudaraan Islam (DPP API FPI) menyatakan sikap tegas terhadap aksi demonstrasi yang berujung ricuh di Jakarta. Pernyataan ini disampaikan oleh Aziz Yanuar, seorang advokat yang mewakili organisasi tersebut, pada Kamis, 28 Agustus 2025, menyusul gelombang protes yang terjadi sejak awal pekan. Menurutnya, aksi-aksi tersebut tidak hanya meresahkan masyarakat tapi juga berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan pers yang diterima dari Aziz Yanuar ini menyoroti dugaan adanya aktor intelektual di balik kekacauan, yang diyakini sengaja dirancang untuk membentuk narasi negatif terhadap pemerintahan. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sikap lunak aparat keamanan terhadap pelaku anarkis menjadi pertanyaan besar, sementara fasilitas umum seperti jalan raya dan transportasi publik lumpuh akibat blokade massa. Situasi ini, kata dia, semakin diperburuk oleh kebijakan-kebijakan kontroversial dari oknum pejabat yang seolah menjadi pemicu amarah rakyat, menciptakan pola berulang yang merugikan stabilitas nasional. Kecaman terhadap Anarkisme dan Tuntutan Penindakan Tegas Aziz Yanuar mengecam keras berbagai tindakan anarkis yang terjadi dalam aksi penyampaian pendapat di muka umum selama beberapa hari terakhir di Jakarta. "Kami dari DPP FPI API menyatakan mengecam keras dan sangat menyesalkan hal itu dapat terjadi," ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima pada 28 Agustus 2025. Ia menjelaskan bahwa aksi-aksi tersebut telah merusak fasilitas umum, memblokir jalan, dan melumpuhkan transportasi publik, yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas. Menurutnya, kekacauan ini bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan bagian dari skenario yang lebih besar untuk mengganggu ketertiban sosial. Lebih dalam, Aziz Yanuar mendesak penegak hukum dan pemerintah untuk bertindak tegas terhadap pelaku langsung maupun aktor di balik layar. "Kami meminta penegak hukum dan pemerintah menindak tegas seluruh pihak yang anarkis itu dan juga mengusut serta menangkap seluruh aktor intelektual di belakang aksi-aksi tidak bertanggung jawab serta cenderung mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat itu," tegasnya. Ia yakin bahwa ada dalang yang mendalangi rangkaian peristiwa ini, dan penindakan segera diperlukan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut yang bisa mengancam roda pemerintahan. Dalam konteks demo yang terjadi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI, situasi memang berubah ricuh setelah massa mulai merusak pos polisi dan fasilitas sekitar, dengan polisi menangkap setidaknya 15 orang, di antaranya 11 diduga terkait kelompok anarko. Aziz Yanuar menyoroti sikap aparat keamanan yang dinilainya terlalu lunak dalam menyikapi kekacauan tersebut. "Anehnya aparat keamanan bersikap sangat lunak dalam menyikapi anarkisme tersebut. Kenapa ini bisa terjadi?" tanyanya retoris dalam pernyataan tersebut. Ia memperluas analisisnya dengan menyebut bahwa pola ini seolah dirancang: mulai dari kebijakan oknum pejabat yang provokatif, diikuti reaksi massa anarkis, dan dibiarkan oleh aparat. Hal ini, menurutnya, menciptakan lingkaran setan yang merugikan stabilitas negara, terutama di tengah transisi pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto yang baru saja dilantik. Lebih lanjut, Aziz Yanuar menduga kuat adanya pihak tertentu yang memanfaatkan situasi ini untuk agenda politik lebih besar. "Diduga kuat 'Mulyono' dan gengnya ada di balik aksi-aksi meresahkan ini," jelasnya pada 28 Agustus 2025, tanpa merinci lebih jauh identitas yang dimaksud, meski dugaan ini sering dikaitkan dengan kelompok politik lawan. Ia menambahkan bahwa aksi beruntun dua hari tersebut tampaknya sudah diarahkan untuk bentrok dan merusak, dengan media turut berperan dalam memperbesar isu. "Beberapa media televisi seperti diorkestrasi untuk menayangkan berjam-jam aksi tersebut tanpa jeda iklan, berapa kah biayanya?" ucapnya kritis. Pernyataan ini memperdalam kekhawatiran bahwa ada orkestra pembusukan pemerintahan dari dalam, dikombinasikan dengan media dan massa yang sumbernya tidak jelas, yang pada akhirnya bisa mengancam fondasi demokrasi Indonesia. Dugaan Orkestra Politik dan Ancaman Stabilitas Pemerintahan Aziz Yanuar menggambarkan pola yang jelas dalam rangkaian peristiwa demo ricuh ini: inkompetensi pejabat memicu reaksi anarkis, yang kemudian dibiarkan oleh aparat dan diekspos habis-habisan oleh media. "Sehingga jelas sangat polanya: inkompetensi pejabat—reaksi anarkis massa—media spot ini habis-habisan—pembiaran aparat keamanan," tuturnya dalam pernyataan 28 Agustus 2025. Ia menilai ini sebagai orkestra terencana untuk membusuk pemerintahan dari dalam, dengan kombinasi elemen media dan massa yang entah dari mana asalnya. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa pada demo 25 Agustus 2025, massa menyebar ke berbagai titik strategis di Jakarta, menyebabkan kemacetan parah dan kerusakan fasilitas, termasuk pembakaran motor dan pos polisi, seperti yang dilaporkan oleh saksi mata di lokasi. Menurutnya, sikap lunak aparat hanya memperburuk persepsi publik bahwa ada pembiaran disengaja, yang pada gilirannya mengerosi kepercayaan terhadap institusi negara. Belakangan, tudingan politik semakin mengemuka ketika partai kecil berwarna merah tiba-tiba menuding Prabowo gagal menangani situasi. "Lalu belakangan partai kecil yang tau-tau naik berwarna merah itu tiba-tiba menuding Prabowo gagal, lalu berlanjut dengan makzulkan Prabowo kemudian naikkan Gibran," ujar Aziz Yanuar tegas pada tanggal yang sama. Ia memperingatkan bahwa skenario ini sangat berbahaya, berpotensi membawa "geng Solo" kembali berkuasa dan melanjutkan apa yang disebutnya sebagai kesengsaraan berpuluh tahun akibat kerusakan dari kelompok tersebut. Analisis ini memperluas diskusi ke ranah politik nasional, di mana transisi kekuasaan pasca-pemilu sering dimanfaatkan untuk destabilisasi, terutama dengan adanya demo buruh pada 28 Agustus 2025 yang menuntut reformasi pajak dan isu HOSTUM, meski aksi tersebut berlangsung lebih damai dengan massa mulai membubarkan diri siang hari. Aziz Yanuar menekankan urgensi bagi intelijen, penegak hukum, dan TNI untuk bertindak atas nama negara dan masyarakat. "Maka itu pihak intelejen dan penegak hukum termasuk TNI sebagai aparat keamanan wajib untuk bertindak atas nama negara dan masyarakat," desaknya dalam pernyataan 28 Agustus 2025. Ia yakin bahwa penindakan ini akan didukung oleh masyarakat waras, karena aksi anarkis tidak hanya meresahkan tapi juga mengganggu stabilitas roda pemerintahan Prabowo. Lebih jauh, ia menghimbau presiden untuk tetap dekat dengan ulama dan tokoh agama yang konsisten, karena "ulama dan umat tidak mungkin berkhianat pada negara dan bangsa," ucapnya. Pernyataan ini memperdalam perspektif bahwa solusi jangka panjang terletak pada penguatan hubungan antara pemimpin dan tokoh spiritual untuk mencegah adu domba. Sumber: depokraya

Pelajar dan Gas Air Mata: Salah Siapa?

Pelajar dan Gas Air Mata: Salah Siapa?

OLEH: AGUNG NUGROHO* SETIAP kali jalanan dipenuhi massa demonstrasi, selalu ada sosok berseragam abu-abu ikut nyempil di antara mahasiswa. Ada yang bawa poster seadanya, ada yang teriak lantang, ada juga yang malah lempar batu. Begitu aparat mulai melepaskan gas air mata, mereka pula yang sering paling depan kena sembur. Pertanyaan klasik pun muncul, “ini salah siapa?” Banyak orang buru-buru menuding bahwa pelajar cuma ikut-ikutan, rusuh karena penasaran, atau dimobilisasi kelompok tertentu. Tapi, kalau ditarik lebih jauh, kehadiran mereka bukan sekadar iseng. Pelajar punya energi besar, rasa ingin tahu tinggi, dan ini yang penting, mereka hidup di tengah situasi sosial yang bikin resah. Di sini, David Easton pernah bilang bahwa politik itu soal “distribusi nilai” dalam masyarakat. Nah, kalau nilai keadilan dan harapan nggak mereka dapat, jangan heran kalau energi mudanya tumpah ke jalan. Kenapa kok kadang pelajar terlihat lebih beringas dibanding mahasiswa? Sederhana saja, pengalaman mereka di lapangan masih minim. Kalau mahasiswa biasanya sudah terbiasa dengan pola orasi, long march, sampai negosiasi dengan aparat. Sedangkan pelajar cenderung bereaksi spontan. Di psikologi gerakan sosial, Charles Tilly menyebut hal ini sebagai repertoar aksi, repertoar pelajar lebih mentah, lebih meledak-ledak. Jadi bukan semata karena mereka “nakal”, tapi karena cara mereka berekspresi memang belum terasah. Apakah ada yang memobilisasi? Bisa iya, bisa tidak. Dalam banyak kasus, pelajar saling mengajak lewat media sosial, grup WhatsApp, atau sekadar kabar dari kakak kelas. Ada juga momen ketika isu yang diangkat mahasiswa, misalnya soal kenaikan harga atau aturan sekolah, langsung nyambung ke keresahan pelajar. Di titik ini, teori framing dari Snow dan Benford bekerja yaitu kalau isu dibungkus dengan bahasa yang dekat dengan pengalaman sehari-hari, pelajar otomatis merasa punya alasan ikut turun. Lalu, bagaimana sebaiknya pemerintah menyikapi? Represif jelas bukan solusi. Setiap kali gas air mata ditembakkan ke arah pelajar, publik justru bertanya, kenapa anak-anak yang mestinya ada di kelas malah berlari di jalan sambil batuk-batuk? Lebih bijak kalau pemerintah dan aparat membuka ruang dialog. Anggap saja demo pelajar ini sebagai alarm demokrasi bahwasanya ada keresahan yang tak tersampaikan lewat jalur biasa. Kalau mau jujur, pelajar di jalanan itu bukan soal salah atau benar semata, tapi soal ruang. Mereka butuh ruang untuk didengar, dibimbing, dan diarahkan. Kalau ruang itu tertutup, jangan salahkan kalau jalanan jadi pilihan utama. Seperti kata Habermas, ruang publik itu penting supaya orang bisa menyampaikan suara tanpa takut dibungkam. Nah, ketika ruang publik formal terlalu sempit, pelajar menciptakan ruangnya sendiri mulai dari trotoar, jalan raya, sampai depan gedung DPR. Jadi, siapa yang salah? Mungkin jawabannya bukan pelajar, bukan juga aparat semata. Yang salah adalah ketika negara gagal menyediakan ruang aman untuk warganya, termasuk mereka yang masih berseragam abu-abu, untuk bersuara. (Penulis adalah Direktur Jakarta Institut)

Ini Identitas Tujuh Brimob Pelindas Ojol

Ini Identitas Tujuh Brimob Pelindas Ojol

GELORA.CO -Sebanyak tujuh anggota Korps Brimob Polda Metro Jaya diamankan karena terlibat dalam tabrak lari pria berjaket ojek online (ojol) dengan mobil barracuda di kawasan Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis malam, 28 Agustus 2025. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Abdul Karim mengatakan, salah satu anggota Brimob yang diamankan berpangkat Komisaris Polisi (Kompol). "Inisial tujuh orang ini, pertama berpangkat Kompol inisial C, Aipda M, Bripka R, Briptu D, dan Bripda M," kata Abdul Karim di RSCM, Jakarta, Kamis malam, 28 Agustus 2025. Selain lima orang itu, polisi juga memeriksa dua anggota Brimob berpangkat Bhayangkara Kepala (Bharaka) berinisial Y dan D. Ketujuh anggota itu berada di dalam kendaraan taktis yang menabrak pria berjaket ojol tersebut. Menurut Abdul Karim, Divisi Propam Polri yang dibantu Propam Korbrimob Polda Metro Jaya memeriksa tujuh polisi itu di Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat. "Masih kita dalami, kita belum bisa tahu siapa menyetir siapa ini, yang jelas satu kendaraan, kita dalami perannya. nanti kita update berikutnya," kata Abdul Karim. Dalam video yang diterima redaksi, sambil menyalakan sirine, mobil rantis Brimob Polri berwarna hitam terlihat melaju kencang ke arah pendemo yang langsung berhamburan. Saat melaju kencang, ada salah seorang pengemudi ojol yang terlihat tertinggal oleh rombongan dan sempat menjauh namun menjadi korban tabrakan. Bukannya memundurkan kendaraan, mobil itu justru melaju terus dan memilih melindas driver ojol. Alhasil, ratusan massa yang geram melihat kejadian itu lalu mengejar mobil tersebut serta mencoba memukuli serta melemparinya dengan batu, bambu, dan benda lainnya Mobil rantis itu terlihat terus melaju lebih jauh menghindari massa. Sumber: RMOL

Mako Brimob Kwitang Masih Dikepung Massa Buntut Ojol Tewas Dilindas, Aparat Jaga Ketat

Mako Brimob Kwitang Masih Dikepung Massa Buntut Ojol Tewas Dilindas, Aparat Jaga Ketat

GELORA.CO - Anggota kepolisian berseragam antiteror masih melakukan penjagaan ketat di depan Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, hingga Jumat pagi (29/8/2025). Berdasarkan pantauan di lokasi sekira pukul 07.00 WIB, para anggota itu berjejer di sepanjang jalan meskipun sudah tidak terlibat kisruh dengan massa aksi. Sementara itu, massa aksi yang menggeruduk Mako Brimob pada Kamis (28/8/2025) malam terlihat masih berkerumun di dekat lampu merah Senen arah Atrium. Sebagian besar dari mereka masih mengoleskan pasta gigi di bagian bawah mata. Bau gas air mata juga masih menyengat di lokasi, dan asapnya masih terlihat mengepul di beberapa titik. Adapun, lalu lintas kendaraan di lokasi tersebut tampak tersendat. Akibat massa yang berkerumun itu, lalu lintas dari arah Salemba dialihkan ke Flyover Senen arah Gunung Sahari. Lalu lintas yang tersendat itu membuat sejumlah pengendara putar balik dan memilih alternatif jalan lain. Sebelumnya, ribuan pengemudi ojek online (ojol) dan warga masih bertahan di kawasan Mako Brimob Kwitang hingga Jumat dini hari, meskipun beberapa kali kali telah dihalau petugas keamanan dengan menembakkan gas air mata. Pantauan di lokasi pada Jumat sekitar jam 03.00 WIB, ribuan orang masih berkumpul, mereka tetap bertahan meski beberapa kali petugas menembakkan gas air mata. Suara letusan pun masih terdengar di sekitar kawasan Mako Brimob. Selain itu titik-titik api dan asap gelap juga terlihat di sekitar jalan layan Senen. Kendaraan roda dua dan empat juga berjejer di sepanjang jalan layang, mereka berhenti untuk melihat situasi terkini di kawasan Mako Brimob Kwitang yang dikepung massa setelah peristiwa pengemudi ojol tewas terlindas. Massa juga sempat membakar pos polisi yang berada persis di bawah jalan layang Senen, mereka meluapkan kemarahannya dan menuntut pertanggungjawaban dari pihak kepolisian. Massa hingga Jumat dini hari bertahan dan ledakan dari petasan serta gas air mata masih terdengar dan terasa. Sebelumnya, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Abdul Karim memastikan penanganan kasus kendaraan taktis (rantis) yang menabrak dan melindas pengemudi ojol hingga tewas dilakukan secara transparan. "Pemeriksaan dilakukan secara cepat dan transparan," katanya saat memberi keterangan kepada media di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan bahwa penanganan kasus tersebut juga dilakukan bukan hanya dari Propam Mabes Polri, tapi bersama dengan Korps Brimob, mengingat pelaku penabrakan merupakan anggota Brimob. Selain pihak internal Polri, penanganan kasus tersebut juga dikoordinasikan dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hal ini dilakukan untuk memastikan penanganan kasus agar transparan. Sumber: inilah