UAS Saja Jadi Gubernur Riau

UAS Saja Jadi Gubernur Riau

Oleh: Erizal Direktur ABC Riset & Consulting GUBERNUR Riau Abdul Wahid ditangkap, penceramah kondang Ustaz Abdul Somad membela. "Bukan ditangkap, melainkan dimintai keterangan," katanya. Orang tentu lebih percaya Ustaz Abdul Somad, mubalig kondang, ustaz populer. Siapa tahu UAS -- begitu sering dipanggil singkatannya -- memang punya jaringan "orang dalam" di KPK? Ternyata tidak. Orang yang sudah digelandang KPK seperti Gubernur Riau itu, biasanya tak akan balik lagi. Apalagi ini bukanlah pengalaman pertama pula bagi Gubernur Riau digelandang oleh KPK. Seperti sudah berlangganan saja. Pengalaman pertamanya, karena ini adalah Gubernur pilihan ustaz sekaliber UAS, tapi berakhir juga di penjara. UAS apakah tak kapok berdakwah dengan cara dukung-mendukung seperti itu? Kenapa tak UAS saja yang maju Gubernur Riau sekalian? Sebetulnya, kasihan juga Abdul Wahid, Gubernur Riau dukungan UAS itu. Ia terlalu mudah untuk ditangkap. Kabarnya sempat lari, lalu ditangkap di sebuah Kafe. Lari kok ke Kafe? Seharusnya, ke STIK atau PTIK seperti Hasto Kristiyanto dulu, misalnya. Kalau bisa lari seperti itu, maka penyidik KPK-nya yang bakal diinterogasi. Lagian kalau dikejar, lalu lari, itu ilmu yang sudah kuno sekali. Seharusnya, ditunggu saja orang yang mengejar itu. Atau, sekalian saja lari ke tempat Ustaz Abdul Somad berada. Apakah KPK masih berani menangkap atau UAS masih berani membela? "Bukan ditangkap, tapi dimintai keterangan!" Kalimat seperti itu seharusnya tak keluar dari seorang UAS. Di republik ini, pejabat yang terlalu mudah untuk ditangkap, berarti tak punya "backup" politik yang memadai. Belajarlah dari Bobby Nasution. Kepala Dinas PUPR-nya ditangkap, ia bisa tak ditangkap. Padahal polanya hampir sama saja. Bedanya soal "backup" politik itu. Bahkan, ada yang sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap sekalipun, masih bisa tak ditangkap. Begitulah hukum kita sampai saat ini. Tapi, saya tak akan membahas itu. Saya membahas Abdul Wahid kaitannya dengan Ustaz Abdul Somad. Ternyata, tak ada pengaruhnya, apalagi jaminan kebaikan, dukungan ustaz populer sekaliber UAS terhadap pejabat, kecuali pada saat kampanye saja. Kenapa tak ustaz populer seperti UAS itu saja yang maju menjadi Calon Gubernur? Kenapa hanya sekedar mendukung saja? Pilpres lalu, saya sudah wanti-wanti mengingatkan ustaz kondang, ustaz populer, kiai sejuta umat -- kalau di eranya Zainuddin MZ -- agar tak masuk dalam politik dukung-mendukung calon. Sebab, jamaah dari ustaz kondang, ustaz populer itu, dipastikan ada di masing-masing calon yang berkontestasi. Kalau ustaz kondang, ustaz populer itu, hanya mendukung salah satu calon, maka jemaahnya yang mendukung calon lain, akan tak enak hati. Kalau sekadar tak enak hati saja masih mendingan, tapi kalau sudah di atas itu, yang destruktif misalnya, maka yang rugi kita semuanya. Bahkan, umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri dirugikan. Biasanya ustaz kondang atau ustaz populer itu seperti Ustaz Abdul Somad, Ustaz Adi Hidayat, Aa Gym, Gus Baha, misalnya; populer justru karena kenetralannya dalam politik sejak awal. Kalau mereka ustaz yang memang sejak awal berpolitik, maka kepopulerannya pun akan berkurang. Tak akan melambung seperti saat ini. Betapa banyak ustaz di PKS, PKB, dan partai-partai lainnya, tak ada yang sepopuler Aa Gym, Ustaz Abdul Somad, Ustaz Adi Hidayat, Gus Baha, misalnya. Semua berada di bawah mereka, kendati ilmunya mungkin saja lebih dalam. Itu karena mereka sudah diklaim punya bendera tersendiri. Orang tak akan terlalu percaya. Memang, ini bukan wilayah halal-haram, melainkan wilayah ijtihad politik belaka. Biasa saja. Tapi kalau akan ikut serta dukung-mendukung calon juga, kenapa tak langsung saja terjun ke dunia politik praktis itu? Kenapa harus setengah-setengah? Tanggung berendam, kenapa tak mandi sekalian? Lagian, era politik kita adalah era keterbukaan. Malah ada yang beranggapan terlalu terbuka. Ustaz berpolitik terlalu banyak contoh. Di Sumatera Barat, Gubernurnya dipanggil Buya, saking ustaznya. Tanggung, kalau ustaz populer sekaliber UAS hanya mendukung seseorang karena dianggap baik saja dibandingkan yang lain. Seharusnya UAS saja yang maju. Politik kita memang cair dan politisinya lebih cair lagi. Pagi tahu, siang tempe, biasa saja. Kemarin partai A, besok partai B, biasa saja. Waktu mencalon kayak nabi, waktu terpilih korupsi, itu tak sekali dua kali terjadi. Yang terbaru soal Projo. Ini paling lucu. Enteng saja mengatakan artinya bukan Pro Jokowi, tapi Pro Rakyat, Pro Negara. Mereka dulu yang mengartikan itu, kini enak saja mengoreksinya. Jangan kultus individu, tapi itulah yang mereka lakukan selama ini. Mana bisa dalam politik yang seperti itu ustaz populer, yang menjadi rujukan banyak orang terlibat dukung-mendukung calon? Aneh saja, kalau Abdul Somad masih sempat membela Abdul Wahid tanpa informasi yang akurat. Ustaz Abdul Somad boleh dibilang, kini kena batunya. Masih mendingan yang didukung kalah terus seperti pada saat Pilpres. Jadi tak ada pembuktian dari yang didukung itu setelah terpilih. Dukung Prabowo 2019 kalah, dukung Anies Baswedan 2024 juga kalah. Tentu tak bisa dikatakan kemenangan Prabowo 2024 karena doa dukungan pada 2019. Itu mau enaknya saja. Abdul Wahid jelas sekali didukung UAS dalam pilkada yang sengit dan akhirnya menang. Tapi saat ini ditangkap KPK, dengan tuduhan tukang palak, minta jatah preman? Masak UAS mendukung orang yang diduga minta jatah preman? Sudah begitu UAS reaktif pula, tak sabar saja menunggu. Entahlah apakah ini akhir bagi UAS terlibat dalam dukung-mendukung calon, atau justru awal bagi UAS untuk benar-benar terjun ke dunia politik praktis? Maju menjadi calon gubernur berikutnya bisa jadi langkah yang perlu dipertimbangkan UAS. (*)

Lima Pihak Swasta Suap Bupati Situbondo Cs Rp4,21 Miliar

Lima Pihak Swasta Suap Bupati Situbondo Cs Rp4,21 Miliar

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka baru sebagai pihak pemberi diduga suap mantan Bupati Situbondo, Karna Suswandi yang mencapai Rp4,21 miliar. Uang tersebut diberikan pihak swasta setelah memenangkan paket pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Permukiman (PUPP) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Situbondo.Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, perkara ini merupakan pengembangan dari perkara du.. Baca selengkapnya di https://rmol.id/hukum/read/2025/11/10/686265/lima-pihak-swasta-suap-bupati-situbondo-cs-rp4-21-miliar

John Terry memuji Alejandro Garnacho usai tampil gemilang dalam kemenangan 3-0 atas Wolves. Dua assist dan kecepatan eksplosifnya disebut memberi dimensi baru bagi serangan Chelsea.

Setuju dengan pendapat Terry, Bolaneters?

#Bolanet #AlejandroGarnacho #Chelsea #Intrnbyn

John Terry memuji Alejandro Garnacho usai tampil gemilang dalam kemenangan 3-0 atas Wolves. Dua assist dan kecepatan eksplosifnya disebut memberi dimensi baru bagi serangan Chelsea. Setuju dengan pendapat Terry, Bolaneters? #Bolanet #AlejandroGarnacho #Chelsea #Intrnbyn

John Terry memuji Alejandro Garnacho usai tampil gemilang dalam kemenangan 3-0 atas Wolves. Dua assist dan kecepatan eksplosifnya disebut memberi dimensi baru bagi serangan Chelsea. Setuju dengan pendapat Terry, Bolaneters? #Bolanet #AlejandroGarnacho #Chelsea #Intrnbyn

Prabowo Lantik Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Dwiarso Budi Santiarto

Prabowo Lantik Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Dwiarso Budi Santiarto

Presiden Prabowo Subianto secara resmi melantik Dwiarso Budi Santiarto sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Non Yudisial di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 November 2025.Dalam kesempatan yang sama, Presiden juga melantik Arif Satria sebagai Kepala BRIN serta Laksdya TNI (Purn) Amarulla Octavian sebagai Wakil Kepala BRIN.Berdasarkan pantauan RMOL, acara pelantikan dimulai sekitar pukul 15.00 WIB ketika Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memasuki ruang pelantik.. Baca selengkapnya di https://rmol.id/politik/read/2025/11/10/686264/prabowo-lantik-wakil-ketua-ma-bidang-non-yudisial-dwiarso-budi-santiarto

Viral Hasto PDIP Perintahkan Galang Opini untuk Tolak Gelar Pahlawan Soeharto: Ini Arahan Ibu Ketum

Viral Hasto PDIP Perintahkan Galang Opini untuk Tolak Gelar Pahlawan Soeharto: Ini Arahan Ibu Ketum

GELORA.CO - Dunia maya dihebohkan dengan adanya screenshot chat dari Sekertaris Jenderal PDIP, Hasto Kristanto di group whatsapp internal PDI Perjuangan. Dari tangkapan layar yang beredar, Hasto menyebut bahwa tugas dirinya maupun pengurus partai untuk mendorong pihak pihak di luar partai, untuk menolak pemberian gelar pahlawan kepada Presiden RI Ke 2 Soeharto. "Tugas kita mendorong pihak-pihak eksternal partai untuk menolak pemberian gelar tersebut (Gelar Pahlawan kepada Soeharto). Jadi terus lakukan penggalangan opini" salah satu kutipan chat Hasto dalam pesan di group tersebut. Dalam pesannya Hasto menekankan untuk menggalang opini untuk menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Menurutnya hal tersebut merupakan hasil diskusi berdasarkan arahan dari ketua umum PDI Perjuangan Megawati dalam rapat di DPP pada pekan sebelumnya. "Rekan - Rekan DPP ini hasil diskusi dari beberapa teman. Diskusi ini dibuat berdasarkan arahan ibu ketua umum dalam rapat DPP Minggu lalu dan juga arahan melalui pernyataan di Blitar" demikian kutipan chat Hasto.*** Sumber: harianterbit