Pejabat Jangan Alergi Dikritik

Pejabat Jangan Alergi Dikritik

GELORA.CO -Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai membela Menteri Luar Negeri Sugiono dari kritik yang dilontarkan mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal. Menanggapi hal ini, Anggota DPR RI Benny K Harman mengingatkan agar kritik tidak dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan. Menurutnya, kritik justru merupakan bagian penting dalam kehidupan demokrasi. “Kritik itu vitamin untuk kekuasaan. Jangan alergi dengan kritik. Bila perlu membuka diri untuk dikritik,” kata Benny lewat akun X miliknya dikutip di Jakarta, Rabu, 24 Desember 2025. Ia menambahkan, para pejabat publik seharusnya tidak memusuhi pengkritik, melainkan bersyukur karena kritik merupakan tanda kepedulian. “Dan, jangan pernah berkata benci kepada para pengkritik. Sebaliknya harus bersyukur karena masih ada di antara kita yang mau mengkritik. Itu tanda peduli,” tegasnya. Sebelumnya Pigai menilai kritik Dino tidak berdasar dan tidak mencerminkan kondisi diplomasi Indonesia saat ini. Menurut Pigai, kinerja diplomasi Indonesia justru menunjukkan lompatan signifikan di bawah kepemimpinan Menlu Sugiono. Ia bahkan menyebut posisi Indonesia di mata dunia jauh lebih diperhitungkan dibandingkan periode sebelumnya. “Saya hargai kritik, tapi kritik Pak Dino kepada Menlu Sugiono isinya semua zonk,” ujar Pigai dikutip dari akun X @NataliusPigai2, Senin, 22 Desember 2025. Pigai mengaku penilaiannya bukan tanpa dasar. Ia menyebut mendapat pengakuan langsung dari sejumlah diplomat asing. Saat berada di Qatar dan bertemu Duta Besar Qatar di Doha, Pigai mendengar pujian terhadap kiprah diplomasi Indonesia di kancah global. “Semua Dubes dan diplomat di banyak negara yang saya temui mengatakan, baru kali ini Indonesia dipandang dunia. Sebelumnya kami di pinggiran,” ungkap Pigai. Sumber: RMOL

Luka di Hulu Aceh Tamiang: Saat Sawit Menggusur Hutan dan Mengundang Banjir

Luka di Hulu Aceh Tamiang: Saat Sawit Menggusur Hutan dan Mengundang Banjir

GELORA.CO -Bencana banjir besar yang melumpuhkan Aceh Tamiang pada akhir November lalu bukan sekadar fenomena alam biasa. Sebuah analisis mendalam berbasis kecerdasan buatan (AI) yang diunggah oleh akun X @RidhoRahmadi85 mengungkap tabir gelap di wilayah hulu: hilangnya hutan penyangga yang berganti menjadi hamparan kelapa sawit dalam skala yang sangat luas. Hasil analisis citra satelit menunjukkan angka yang mencengangkan, yaitu terdapat sekitar 35.188 hektare lahan sawit yang kini menduduki kawasan hulu. Luasan ini setara dengan 11 kali lipat luas Kota Yogyakarta. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah fakta bahwa perkebunan ini telah melampaui batas hukum dengan merambah zona konservasi, termasuk sekitar 488 hektare di dalam Taman Nasional dan 525 hektare di kawasan Hutan Lindung. Tak berhenti di situ, ditemukan pula ratusan hektare lahan terbuka yang diduga kuat tengah disiapkan untuk ekspansi kebun baru di jantung pertahanan ekologis tersebut. Secara ilmiah, transformasi hutan menjadi sawit di wilayah perbukitan adalah resep bagi bencana. Berbeda dengan hutan alam yang memiliki kanopi berlapis dan akar dalam untuk menyerap air, perkebunan sawit justru membuat tanah menjadi padat dan keras akibat penggunaan alat berat serta sistem monokultur. Akibatnya, saat hujan deras mengguyur, air tidak lagi meresap ke dalam bumi melainkan meluncur deras ke sungai, memicu luapan yang menghancurkan pemukiman, sekolah, hingga rumah sakit di wilayah hilir. Kondisi ini menyisakan teka-teki besar mengenai siapa sebenarnya pengelola puluhan ribu hektare sawit di zona merah tersebut. Dengan lokasi yang terisolasi dan masuk ke kawasan lindung, lahan ini jelas bukan milik petani rakyat yang luasannya relatif kecil. Data menunjukkan masih ada sekitar 13.289 hektare lahan sawit yang kepemilikannya tetap misterius, di tengah dominasi korporasi besar yang menguasai lahan hingga ratusan kali lipat dibanding warga lokal. Pada akhirnya, banjir besar ini harus menjadi pelajaran mahal bagi pemerintah untuk mengevaluasi tata kelola lingkungan secara total. Mengabaikan kerusakan di hulu demi keuntungan ekonomi jangka pendek hanya akan membuat masyarakat terus membayar harganya melalui bencana yang kian rutin. Jika tidak ada tindakan tegas terhadap perambahan hutan lindung, maka banjir di masa depan bukan lagi sebuah musibah, melainkan konsekuensi logis dari kelalaian manusia dalam menjaga alam. Sumber: RMOL