Eggi Sudjana Ingatkan Polisi Jangan Sampai Dipermalukan

Eggi Sudjana Ingatkan Polisi Jangan Sampai Dipermalukan

GELORA.CO - Penetapan tersangka kuasa hukum Bambang Tri Mulyono, Eggi Sudjana oleh Polda Metro Jaya dianggap aneh dan mencoreng hukum Indonesia. Eggi angkat bicara soal penetapan tersangka dirinya. Ia menilai ada logika hukum yang aneh dalam proses ini. “Jadi teman-teman polisi belum terlambat. Jangan anda teruskan ke jaksa, kemana, kemana. Pasti nanti kita lakukan praperadilan. Itu nanti dipermalukan kalian ini polisi, karena aneh sekali ilmu hukum, kok kalian lakukan yang aneh gitu lho,” kata Eggi dikutip dalam kanal YouTube Refly Harun, Minggu 9 November 2025. Menurut dia ada tiga peraturan yang dilanggar dalam penetapan dirinya sebagai tersangka. Pertama, pasal 16 UU No.18/2003 tentang Advokat. Kedua, UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketiga Peraturan Kapolri No.6/2019 tentang Penyidikan. “Kan semua orang tahu, saya nggak pernah datang, mangkir katanya. Nggak pernah disidik. Pertanyaan serius saya, nggak pernah disidik kok bisa jadi tersangka? Aneh itu,” tegasnya. Lanjut Eggi, surat penetapan tersangka ditandatangani oleh polisi berpangkat kombes yang jauh di bawah Kapolri. “Nah, pertanyaan seriusnya, kok kombes berani ngelawan jenderal? Perkap (peraturan kapolri) itu kan jenderal. Peraturan Kapolri nomor 6 (2019) dilanggar. Orang mesti disidik yang benar, orang gak disidik kok bisa jadi tersangka? Ini pesan siapa?” tegasnya lagi. (*)

Berisi 3 Mantan Kapolri Era Jokowi, Tim Reformasi Polri Diprediksi Hanya Mempertahankan Kebobrokan

Berisi 3 Mantan Kapolri Era Jokowi, Tim Reformasi Polri Diprediksi Hanya Mempertahankan Kebobrokan

GELORA.CO - Tim Reformasi Polri yang telah dibentuk Presiden Prabowo Subianto dengan anggota tokoh-tokoh besar, termasuk tiga mantan Kapolri: Badrodin Haiti, Tito Karnavian dan Idham Azis menuai sorotan. Pemerhati intelijen dan keamanan, Surya Permana mengendus adanya pihak yang membonceng situasi ini untuk kepentingan tertentu. “Niat baik Presiden jangan sampai antiklimaks hanya menghasilkan status quo. Masyarakat bisa curiga tim ini dibonceng pihak lama yang justru mempertahankan kebobrokan. Reformasi sejati butuh keberanian memutus rantai masa lalu, bukan mendaur ulangnya,” ujar Surya dalam pesan elektroniknya kepada RMOL di Jakarta, Sabtu malam, 8 November 2025. Ia menilai tuntutan reformasi Polri bergulir kencang karena institusi pemelihara keamanan. Sementara amanat Reformasi 1998 untuk Polri masih jauh dari harapan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. “Malah, Polri kerap dianggap biang represi rakyat, terlihat dari laporan pelanggaran HAM berulang. Sikap arogan dan koruptif oknum bukan lagi kesalahan individu, melainkan kegagalan institusi Polri secara keseluruhan,” jelasnya. “Kita patut apresiasi respons Presiden yang membentuk tim ini, dengan harapan memperbaiki Polri secara kultural dan struktural. Perbaikan utama harus dimulai dari tingkat elite agar menjadi Tut Wuri Handayani bagi jenjang di bawahnya. Hubungan timbal balik antara kultur dan struktur selalu ada. Perubahan di satu sisi akan memengaruhi yang lain,” tambah Surya. Namun ketika melihat komposisi tim Reformasi Polri, ia melakukan tajam. “Ketiga mantan Kapolri tersebut menjabat justru di era Jokowi, saat citra Polri terpuruk hingga dijuluki "Parcok", konotasi Polri sebagai alat pemenangan dan pelindung penguasa. Di periode itu pula, kasus-kasus besar melibatkan perwira tinggi Polri, seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang,” bebernya. Lanjut dia, seharusnya presiden mengganti anggota tim yang pernah memimpin saat Polri ambruk agar reformasi tak kehilangan kredibilitas. “Berbeda dengan Kapolri saat ini yang masih eksis menjabat, sehingga wajar jika dilibatkan secara formal,” ungkap dia. “Presiden juga sebaiknya merekrut penasihat dari negara yang sukses mereformasi kepolisian, seperti Hong Kong pasca 1997 atau Georgia di bawah Saakashvili,” pungkas Surya. (*)