Rencana Budi Arie Gabung Gerindra Ditolak Tidar Jabar

Rencana Budi Arie Gabung Gerindra Ditolak Tidar Jabar

GELORA.CO -Ketua PD Tunas Indonesia Raya (Tidar) Jawa Barat, Al Akbar Rahmadillah merespons rencana Ketum Projo Budi Arie Setiadi yang ingin bergabung dengan Partai Gerindra. Ia menyebut Partai Gerindra memang terbuka atau inklusif untuk siapa pun yang ingin berjuang demi bangsa dan negara. “Akan tetapi kami juga perlu mencermati rekam jejak serta konteks politiknya. Kami soroti kabar Budi Arie masuk Gerindra. Jangan sampai Gerindra dijadikan tameng politik seseorang yang mungkin tengah mencari suatu perlindungan dan kekuasaan semata,” tegas Akbar dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu malam, 8 November 2025. “Kami dibina dan digembleng oleh Pak Prabowo untuk berjuang demi kesejahteraan rakyat, menempatkan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Para kader bekerja keras membesarkan partai ini dengan keringat dan pengorbanan,” tambahnya. Karena itu, lanjut dia, jangan sampai ada yang datang hanya untuk berlindung atau mencari keuntungan yang justru bisa mencederai kepercayaan publik terhadap Partai Gerindra. Akbar berharap pandangan kader Tidar se-Jabar menjadi pertimbangan bagi pimpinan pusat dalam menyikapi rencana bergabungnya Budi Arie ke dalam struktur Partai Gerindra. “Setiap kader Gerindra melakukan pengkaderan yang berjenjang, sistematis, dan berlandaskan ideologi perjuangan. Bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba karena kepentingan,” tandasnya Sumber: RMOL

Eggi Sudjana Tuding Ada Keanehan Hukum Usai Ditetapkan Tersangka

Eggi Sudjana Tuding Ada Keanehan Hukum Usai Ditetapkan Tersangka

GELORA.CO -Kuasa hukum Bambang Tri Mulyono, Eggi Sudjana baru saja ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya bersama tujuh orang lainnya dalam kasus dugaan tindak pidana fitnah terkait tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Eggi Sudjana angkat bicara terkait penetapan tersebut. Ia menilai dalam perkara ini terdapat keanehan hukum di Indonesia. “Ada keanehan hukum, nah itu istilah saya. Aneh dalam perspektif logika yang tidak seharusnya, kenapa seharusnya terjadi,” kata Eggi dikutip dalam kanal YouTube Refly Harun, Minggu 9 November 2025. Ia lantas menjelaskan poin penting dalam proses hukum tersebut. Pertama, terkait pasal 16 UU No.18/2003 yang memberikan hak imunitas hukum kepada advokat. “Saya bertindak dalam konteks yang dilaporkan ini sebagai advokat oleh saudara Joko Widodo. Oleh karena itu, sebagai advokat menurut pasal 16 (UU tentang Advokat) tidak bisa digugat perdata dan dituntut pidana, itu undang-undang,” jelasnya. Hal itu terjadi saat Eggi menjadi pengacara dari Bambang Tri dan Gus Nur pada 2022. Usai berjalannya sidang sebanyak tiga kali di PN Jakarta Pusat, Bambang Tri lantas ditangkap. “Maka berpindahlah peristiwa hukum perdata ke pidana. Itu logika yang tidak bisa dibantah. Nah, perpindahan hukum itu berkonsekuensi logis secara ilmu hukum,” jelasnya lagi. Ia menyebut ada pasal yang tidak digunakan dalam proses hukum kedua kliennya yakni pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 yang mengatur hukum pidana di Indonesia. “Jadi tidak ada berita hoax atau berita palsu yang menghebohkan karena pasal itu tidak dipakai di PT (pengadilan tinggi),” pungkasnya Sumber: RMOL

Eggi Sudjana Tuding Ada Keanehan Hukum Usai Ditetapkan Tersangka

Eggi Sudjana Tuding Ada Keanehan Hukum Usai Ditetapkan Tersangka

GELORA.CO -Kuasa hukum Bambang Tri Mulyono, Eggi Sudjana baru saja ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya bersama tujuh orang lainnya dalam kasus dugaan tindak pidana fitnah terkait tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Eggi Sudjana angkat bicara terkait penetapan tersebut. Ia menilai dalam perkara ini terdapat keanehan hukum di Indonesia. “Ada keanehan hukum, nah itu istilah saya. Aneh dalam perspektif logika yang tidak seharusnya, kenapa seharusnya terjadi,” kata Eggi dikutip dalam kanal YouTube Refly Harun, Minggu 9 November 2025. Ia lantas menjelaskan poin penting dalam proses hukum tersebut. Pertama, terkait pasal 16 UU No.18/2003 yang memberikan hak imunitas hukum kepada advokat. “Saya bertindak dalam konteks yang dilaporkan ini sebagai advokat oleh saudara Joko Widodo. Oleh karena itu, sebagai advokat menurut pasal 16 (UU tentang Advokat) tidak bisa digugat perdata dan dituntut pidana, itu undang-undang,” jelasnya. Hal itu terjadi saat Eggi menjadi pengacara dari Bambang Tri dan Gus Nur pada 2022. Usai berjalannya sidang sebanyak tiga kali di PN Jakarta Pusat, Bambang Tri lantas ditangkap. “Maka berpindahlah peristiwa hukum perdata ke pidana. Itu logika yang tidak bisa dibantah. Nah, perpindahan hukum itu berkonsekuensi logis secara ilmu hukum,” jelasnya lagi. Ia menyebut ada pasal yang tidak digunakan dalam proses hukum kedua kliennya yakni pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 yang mengatur hukum pidana di Indonesia. “Jadi tidak ada berita hoax atau berita palsu yang menghebohkan karena pasal itu tidak dipakai di PT (pengadilan tinggi),” pungkasnya Sumber: RMOL

Naik Transportasi Gratis, Pekerja di Jakarta Diajak Daftar KPJ

Naik Transportasi Gratis, Pekerja di Jakarta Diajak Daftar KPJ

Anggota DPRD DKI Jakarta, Ade Suherman, mengajak para pekerja swasta di Ibu Kota segera mendaftarkan diri sebagai pemegang Kartu Pekerja Jakarta (KPJ), kartu yang memberi fasilitas naik transportasi umum gratis bagi pekerja berpenghasilan menengah ke bawah.Program ini diatur dalam Pergub DKI Nomor 33 Tahun 2025 tentang Layanan Angkutan Umum Massal bagi Kelompok Tertentu, dengan acuan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2025 sesuai PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.KPJ bukan sekadar .. Baca selengkapnya di https://rmol.id/nusantara/read/2025/11/09/686110/naik-transportasi-gratis-pekerja-di-jakarta-diajak-daftar-kpj

Pesan Buat Pandji: Adat Toraja itu Cinta, Bukan Amarah

Pesan Buat Pandji: Adat Toraja itu Cinta, Bukan Amarah

GELORA.CO - Polemik seputar komika Pandji Pragiwaksono yang dianggap menyinggung adat dan budaya Toraja menuai beragam tanggapan. Namun di tengah derasnya tuntutan sanksi adat dan amarah publik, muncul suara teduh dari seorang tokoh akademisi berdarah Toraja, Dr. Y. Paonganan (Ongen), cucu Puang Dian (Mengkendek Tana Toraja). Dengan penuh kebijaksanaan, Paonganan mengingatkan bahwa hakikat adat Toraja bukanlah untuk menghukum, melainkan untuk menyembuhkan, merangkul, dan mengajarkan kasih. “Setahu saya, adat Toraja itu penuh kasih, tidak otoriter. Kalau Pandji benar-benar memahami adat Toraja, rasanya dia tidak akan melakukan itu. Tapi dia sudah minta maaf, dan sebagai anak Toraja, saya maafkan. Denda adat itu tidak perlu dituruti,” ujar Paonganan dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu malam, 8 November 2025. Pernyataan ini sontak menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Toraja, terutama di tengah suasana panas usai video Pandji yang dianggap melecehkan tradisi Rambu Solo’. Sebagian kelompok adat bahkan sempat mendesak agar Pandji dikenakan “denda adat”, suatu bentuk sanksi sosial yang dikenal dalam sistem hukum tradisional Toraja. Namun bagi Paonganan, pendekatan tersebut bukanlah cerminan sejati dari “adat lembang”, sistem nilai yang diwariskan oleh leluhur Toraja dengan menjunjung tinggi kehormatan, cinta kasih, dan keseimbangan. Paonganan menegaskan bahwa Puang Dian, dikenal sebagai sosok bijak yang mengajarkan pentingnya kasih dalam setiap tindakan adat. “Kakek saya, Puang Dian, selalu menanamkan bahwa adat itu bukan alat untuk mempermalukan, tapi untuk memperbaiki. Kalau seseorang berbuat salah dan dia sudah meminta maaf, maka yang paling tinggi nilainya adalah memaafkan. Itu kehormatan orang Toraja yang sesungguhnya,” jelasnya. Ia menilai bahwa tuntutan sanksi adat yang muncul justru berpotensi memunculkan persepsi negatif tentang adat Toraja, seolah-olah adat hanya berfungsi untuk menghukum atau mempermalukan orang lain. Padahal, kata dia, adat Toraja sesungguhnya adalah refleksi dari nilai-nilai spiritual yang dalam, di mana manusia dan sesamanya ditempatkan dalam hubungan saling menghormati dan mengasihi. “Toraja itu cinta, bukan amarah. Kita diajarkan untuk menghormati tamu, memahami perbedaan, dan tidak menghakimi. Pandji sudah meminta maaf. Mari kita tunjukkan bahwa masyarakat Toraja lebih besar dari sekadar reaksi emosional,” tambahnya. Bagi Paonganan, kejadian ini seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum edukasi nasional kesempatan untuk memperkenalkan filosofi dan nilai luhur adat Toraja kepada masyarakat luas. “Justru ini momen untuk sosialisasikan adat Toraja ke seluruh Indonesia. Banyak orang luar yang belum paham betapa dalam dan indahnya filosofi hidup orang Toraja. Jangan jadikan momen ini untuk marah, tapi untuk memperkenalkan cinta,” ucapnya. Ia mengajak para tokoh adat, akademisi, dan generasi muda Toraja agar menjadikan polemik ini sebagai pintu masuk untuk dialog budaya, bukan pertentangan. Menurutnya, masyarakat modern sering melihat adat hanya dari sisi ritual seperti upacara Rambu Solo’ atau Ma’nene, tanpa memahami nilai moral yang melandasinya: persaudaraan, kasih, dan penghormatan terhadap kehidupan. “Kalau hanya melihat adat dari upacara, orang hanya paham kulitnya. Tapi kalau kita tunjukkan nilai kasih dan penghormatan yang menjadi ruhnya, orang akan jatuh cinta kepada adat Toraja,” jelasnya. Pernyataan Paonganan diakhiri dengan kalimat sederhana namun menggugah: “Toraja is LOVE.” Bagi dia, tiga kata itu bukan sekadar slogan, melainkan cerminan hakikat hidup orang Toraja yang diwariskan turun-temurun bahwa segala sesuatu harus berlandaskan kasih. Nilai itu, lanjutnya, bahkan tertanam dalam struktur adat dan kepercayaan masyarakat Toraja sejak masa pra-kolonial, di mana prinsip “sangulean” (persaudaraan) dan “tang merambu” (keseimbangan) menjadi dasar dari semua tindakan sosial dan ritual. “Cinta adalah inti dari adat Toraja. Kalau kita kehilangan cinta, maka adat kehilangan maknanya,” pungkas Paonganan. Pandji sebelumnya menyinggung soal mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan pemakaman dengan adat Toraja. "Di Toraja, dan ini pasti ada yang tahu, kalau ada anggota keluarga yang meninggal makaminnya itu pakai pesta yang mahal banget. Bener nggak gue? Bahkan banyak orang Toraja yang jatuh miskin habis bikin pesta untuk pemakaman keluarganya dan banyak yang nggak punya duit untuk makamin akhirnya jenazahnya dibiarin aja gitu," kata Pandji dalam potongan video yang beredar di media sosial. Sumber: RMOL

Pesan Buat Pandji: Adat Toraja itu Cinta, Bukan Amarah

Pesan Buat Pandji: Adat Toraja itu Cinta, Bukan Amarah

GELORA.CO - Polemik seputar komika Pandji Pragiwaksono yang dianggap menyinggung adat dan budaya Toraja menuai beragam tanggapan. Namun di tengah derasnya tuntutan sanksi adat dan amarah publik, muncul suara teduh dari seorang tokoh akademisi berdarah Toraja, Dr. Y. Paonganan (Ongen), cucu Puang Dian (Mengkendek Tana Toraja). Dengan penuh kebijaksanaan, Paonganan mengingatkan bahwa hakikat adat Toraja bukanlah untuk menghukum, melainkan untuk menyembuhkan, merangkul, dan mengajarkan kasih. “Setahu saya, adat Toraja itu penuh kasih, tidak otoriter. Kalau Pandji benar-benar memahami adat Toraja, rasanya dia tidak akan melakukan itu. Tapi dia sudah minta maaf, dan sebagai anak Toraja, saya maafkan. Denda adat itu tidak perlu dituruti,” ujar Paonganan dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu malam, 8 November 2025. Pernyataan ini sontak menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Toraja, terutama di tengah suasana panas usai video Pandji yang dianggap melecehkan tradisi Rambu Solo’. Sebagian kelompok adat bahkan sempat mendesak agar Pandji dikenakan “denda adat”, suatu bentuk sanksi sosial yang dikenal dalam sistem hukum tradisional Toraja. Namun bagi Paonganan, pendekatan tersebut bukanlah cerminan sejati dari “adat lembang”, sistem nilai yang diwariskan oleh leluhur Toraja dengan menjunjung tinggi kehormatan, cinta kasih, dan keseimbangan. Paonganan menegaskan bahwa Puang Dian, dikenal sebagai sosok bijak yang mengajarkan pentingnya kasih dalam setiap tindakan adat. “Kakek saya, Puang Dian, selalu menanamkan bahwa adat itu bukan alat untuk mempermalukan, tapi untuk memperbaiki. Kalau seseorang berbuat salah dan dia sudah meminta maaf, maka yang paling tinggi nilainya adalah memaafkan. Itu kehormatan orang Toraja yang sesungguhnya,” jelasnya. Ia menilai bahwa tuntutan sanksi adat yang muncul justru berpotensi memunculkan persepsi negatif tentang adat Toraja, seolah-olah adat hanya berfungsi untuk menghukum atau mempermalukan orang lain. Padahal, kata dia, adat Toraja sesungguhnya adalah refleksi dari nilai-nilai spiritual yang dalam, di mana manusia dan sesamanya ditempatkan dalam hubungan saling menghormati dan mengasihi. “Toraja itu cinta, bukan amarah. Kita diajarkan untuk menghormati tamu, memahami perbedaan, dan tidak menghakimi. Pandji sudah meminta maaf. Mari kita tunjukkan bahwa masyarakat Toraja lebih besar dari sekadar reaksi emosional,” tambahnya. Bagi Paonganan, kejadian ini seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum edukasi nasional kesempatan untuk memperkenalkan filosofi dan nilai luhur adat Toraja kepada masyarakat luas. “Justru ini momen untuk sosialisasikan adat Toraja ke seluruh Indonesia. Banyak orang luar yang belum paham betapa dalam dan indahnya filosofi hidup orang Toraja. Jangan jadikan momen ini untuk marah, tapi untuk memperkenalkan cinta,” ucapnya. Ia mengajak para tokoh adat, akademisi, dan generasi muda Toraja agar menjadikan polemik ini sebagai pintu masuk untuk dialog budaya, bukan pertentangan. Menurutnya, masyarakat modern sering melihat adat hanya dari sisi ritual seperti upacara Rambu Solo’ atau Ma’nene, tanpa memahami nilai moral yang melandasinya: persaudaraan, kasih, dan penghormatan terhadap kehidupan. “Kalau hanya melihat adat dari upacara, orang hanya paham kulitnya. Tapi kalau kita tunjukkan nilai kasih dan penghormatan yang menjadi ruhnya, orang akan jatuh cinta kepada adat Toraja,” jelasnya. Pernyataan Paonganan diakhiri dengan kalimat sederhana namun menggugah: “Toraja is LOVE.” Bagi dia, tiga kata itu bukan sekadar slogan, melainkan cerminan hakikat hidup orang Toraja yang diwariskan turun-temurun bahwa segala sesuatu harus berlandaskan kasih. Nilai itu, lanjutnya, bahkan tertanam dalam struktur adat dan kepercayaan masyarakat Toraja sejak masa pra-kolonial, di mana prinsip “sangulean” (persaudaraan) dan “tang merambu” (keseimbangan) menjadi dasar dari semua tindakan sosial dan ritual. “Cinta adalah inti dari adat Toraja. Kalau kita kehilangan cinta, maka adat kehilangan maknanya,” pungkas Paonganan. Pandji sebelumnya menyinggung soal mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan pemakaman dengan adat Toraja. "Di Toraja, dan ini pasti ada yang tahu, kalau ada anggota keluarga yang meninggal makaminnya itu pakai pesta yang mahal banget. Bener nggak gue? Bahkan banyak orang Toraja yang jatuh miskin habis bikin pesta untuk pemakaman keluarganya dan banyak yang nggak punya duit untuk makamin akhirnya jenazahnya dibiarin aja gitu," kata Pandji dalam potongan video yang beredar di media sosial. Sumber: RMOL