Rumah Elina Widjajanti (80), seorang lansia di Surabaya kini telah rata dengan tanah. Nenek itu diduga menjadi korban pengusiran paksa yang berujung pada pembongkaran rumahnya di Dukuh Kuwukan 27, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Jawa Timur, oleh sejumlah oknum

Rumah Elina Widjajanti (80), seorang lansia di Surabaya kini telah rata dengan tanah. Nenek itu diduga menjadi korban pengusiran paksa yang berujung pada pembongkaran rumahnya di Dukuh Kuwukan 27, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Jawa Timur, oleh sejumlah oknum

Rumah Elina Widjajanti (80), seorang lansia di Surabaya kini telah rata dengan tanah. Nenek itu diduga menjadi korban pengusiran paksa yang berujung pada pembongkaran rumahnya di Dukuh Kuwukan 27, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Jawa Timur, oleh sejumlah oknum

Bobibos Siap Produksi di Timor Leste, Didukung Pemerintah Setempat, di Indonesia Masih Tersandung Regulasi

Bobibos Siap Produksi di Timor Leste, Didukung Pemerintah Setempat, di Indonesia Masih Tersandung Regulasi

GELORA.CO - Inovasi bahan bakar nabati berbasis jerami atau Bobibos kembali menjadi sorotan. Setelah viral di Indonesia karena klaim ramah lingkungan dan efisiensi tinggi. Kini publik dibuat terkejut dengan kabar bahwa produk tersebut justru akan diproduksi massal di Timor Leste, bukan di Indonesia tempat teknologi ini dikembangkan. Bobibos, yang digagas oleh Tim Bobibos dan akademisi dalam negeri, sebenarnya dirancang sebagai solusi alternatif BBM yang lebih terjangkau dan rendah emisi. Namun perjalanan komersialisasi produk ini di Indonesia tidak semulus yang dibayangkan. Di tengah antusiasme publik, muncul kenyataan bahwa regulasi di Indonesia belum siap memberikan ruang bagi inovasi berbasis jerami. Kementerian ESDM hingga kini belum menetapkan jerami sebagai satu dari sumber resmi bioenergi. Tanpa payung regulasi tersebut, Bobibos tidak bisa diproduksi dan diedarkan secara legal di Indonesia. Uji teknis dan sertifikasi masih berlangsung, sehingga proses perizinan berjalan lambat. Inilah yang membuat Bobibos mencari peluang ke luar negeri. Sementara Indonesia masih mempertimbangkan langkah-langkah administrasi, kejutan datang dari negara tetangguntuk pabrik dan gudang produksi. Tak berhenti di situ, Bobibos juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan mitra lokal di Timor Leste. "Produksi perdana direncanakan akan diresmikan langsung oleh Perdana Menteri Timor Leste dan dihadiri Presiden Timor Leste. Ini menjadi bukti keseriusan mereka,” ujar Mulyadi pembina bobibos dikutip pojoksatu.id dari republika.co.id 27/12/2025 Kesepakatan ini mencakup pembangunan fasilitas produksi hingga rencana distribusi biofuel untuk kebutuhan energi negara tersebut. Bahkan disebutkan bahwa Perdana Menteri dan Presiden Timor Leste akan hadir dalam peresmian produksi perdana sebagai bentuk dukungan politik penuh. Kecepatan respons Timor Leste membuat banyak pihak di Indonesia tercengang. Apalagi, produksi massal Bobibos di negara tersebut ditargetkan mulai pada tahun 2026. Dengan kata lain, inovasi yang lahir di Indonesia justru akan “dilahirkan” secara industri di negeri tetangga. Fenomena ini memunculkan pertanyaan publik. Bagaimana bisa inovasi anak bangsa mendapat panggung besar di luar negeri, sementara di dalam negeri masih menunggu kepastian regulasi? Padahal, jika diproduksi di Indonesia, Bobibos berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, menghidupkan ekosistem bioenergi, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Di sisi lain, pihak Bobibos menyatakan kesiapan mereka kembali memproduksi di Indonesia apabila pemerintah segera merumuskan aturan yang jelas. Mereka menegaskan bahwa tujuan utama tetap membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia. Namun langkah ke Timor Leste dianggap perlu diambil agar teknologi tidak berhenti hanya sebagai gagasan. BRIN juga menunjukkan ketertarikan untuk menguji lebih lanjut formula Bobibos untuk memastikan standar keselamatan dan kualitasnya. Namun lagi-lagi, tahapan penelitian dan sertifikasi membutuhkan waktu. Sementara itu, langkah cepat Timor Leste menunjukkan bahwa negara tersebut melihat peluang besar pada biofuel jerami. Dukungan pemerintah hingga level tertinggi menjadi sinyal kuat bahwa mereka siap menjadi pusat produksi energi berbasis jerami di kawasan. Dalam situasi ini, publik menyoroti ketimpangan kecepatan antara negara pembuat inovasi dan negara pengguna. Bobibos menjadi contoh nyata bagaimana sebuah teknologi lokal bisa justru berkembang pesat di luar negeri jika regulasi domestik bergerak terlalu lambat. Kini perhatian tertuju pada pemerintah Indonesia. Apakah Indonesia akan menyusul langkah Timor Leste dan memberikan ruang bagi Bobibos untuk berkembang di tanah sendiri? Baca Juga: Skema Single Salary ASN Ditarget Berlaku 2026, Simak Penjelasan Lengkanya Atau inovasi ini akan terus melaju di negeri orang sementara Indonesia hanya menjadi penonton?***

Viral Patung Macan Putih di Kediri, Segini Biaya Pembuatannya

Viral Patung Macan Putih di Kediri, Segini Biaya Pembuatannya

GELORA.CO - Monumen macan putih di Desa Balongjeruk, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, mendadak menyedot perhatian publik setelah wujudnya ramai diperbincangkan di media sosial. Dalam video yang diunggah akun Instagram @lambeturah, tampak patung macan putih itu terpasang di persimpangan. Di kolom komentar, sejumlah warganet menilai bentuk patung tidak menyerupai harimau pada umumnya. Informasi dihimpun VIVA dari berbagai sumber, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kabupaten Kediri, Agus Cahyono, menyatakan pihaknya langsung melakukan klarifikasi setelah patung tersebut viral. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa pembangunan patung tidak bersumber dari Dana Desa atau APBDes. Menurut Agus, biaya pembuatan patung berasal dari urunan warga dan donatur. Ia menjelaskan, pemilihan simbol macan putih didasarkan pada kepercayaan masyarakat setempat yang meyakini adanya sosok sakral penjaga desa berupa macan putih. Sekretaris Desa Balongjeruk, Ardan Setiadi, menuturkan ide pembuatan patung muncul dari diskusi warga yang ingin menghadirkan ikon desa sebagai penanda wilayah. Dalam musyawarah yang melibatkan pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), usulan macan putih akhirnya disepakati karena berkaitan dengan cerita turun-temurun para sesepuh. Kepala Desa Balongjeruk, Safii’i, menegaskan dirinya menyetujui usulan tersebut dengan konsekuensi pembiayaan dilakukan secara pribadi. Total dana yang dikeluarkan mencapai Rp3,5 juta, dengan rincian Rp2 juta untuk jasa pembuatan patung dan alasnya, serta Rp1,5 juta untuk material. Sebagian bahan bangunan juga disumbangkan secara sukarela. Proses pengerjaan patung memakan waktu sekitar satu bulan. Namun, hasil akhirnya di luar perkiraan warga dan pemerintah desa. Bentuk patung yang dianggap kurang merepresentasikan karakter macan justru menjadi pemicu viral di media sosial. Safii’i mengakui kehadiran patung tersebut memunculkan kegaduhan di ruang digital. Ia pun menyampaikan permohonan maaf kepada publik, sembari mengapresiasi perhatian dan masukan yang diberikan masyarakat. Sebagai tindak lanjut, pemerintah desa memutuskan mengganti patung dengan desain baru yang lebih estetik dan mendekati wujud macan sebenarnya. Patung pengganti telah dipesan dari perajin di wilayah Ngadiluwih dengan ukuran yang sama, yakni panjang 1,5 meter dan tinggi 1 meter, serta target kemiripan minimal 90 persen dari desain yang disepakati.